7.29.2010

Ki Hajar Dewantara : Peletak Dasar Pendidikan Nasional


R.M Soewardi Soerjaningrat dilahirkan di Yogyakarta pada hari kemis legi tanggal 2 Mei 1889 sebagai putera ke empat dari Pangeran Suryaningrat , putera tertua dari Sri Paku Alam III. Masa kanak-kanak dan remajanya di pengaruhi oleh sastra Jawa, ajaran Islam dan ajaran Hindu Purba. Pahlawan yang di kaguminya dari epek Mahabarata adalah Yudistira (lambang perdamaian dan cinta) dan Sri Kresna (reinkarnasi Wiahnu yang penuh dengan kebijaksanaan).
Sejak kecil wataknya adalah independent, non konformis dan merakyat. Beliau senang bermain dengan anak-anak orang awam, dan sering tidur bersama mereka di masjid. Beliaupun juga tidak menyenangi ariatokkratis “dhodhok-sembah” (jalan berjongkok dan menyembah), dan dengan sengaja melanggar monopoli kraton bahwa kain Bathik “parang-rusak” itu dilarang di pakai oleh orang awam!
Jiwa Soewardi sangat peka terhadap keadaan lingkunganya, terutama mengenai kehidupan kerabat istana. Keadaan ekonomis yang sangat menyolok, keterbatasan hak yang ada pada rakyat dan berbagai ketimpangan sosial lainya, menimbulkan sikap protes dalam hati Soewardi, yang kemudian terpupuk menjadi dasar sifatnya yang kerakyatan dan revolusioner. Dalam perkembangan kepribadianya selanjutnya, dikarenakan pengaruh lingkungan dan pendidikanya, Soewardi menjadi orang berjiwa nasional, yang selalu tergelitik hatinya untuk mengadakan perubahan dalam peri kehidupan bangsanya.
Soewardi yang berjiwa progresif dan agresif bersama-sama dengan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Dr. Douwes Dekker, yang terkenal sebagai “Tiga serangkai”, pada tahun 1912 mendirikan Indische Partij (IP), dengan semboyan “rawe-rawe rantas, malang-malang putung”, beraksi untuk Indonesia merdeka dan berdaulat. Pertumbuhan jiwa Soewardi menjadi semakin jelas ketangkasanya di dalam menyerang fikak Belanda Kolonial.
Aktifitas politiknya dalam Budi Utomo, Sarekat Islam, dan indische Partij memuncak dalam kritik yang berwujud buku siaran “als ikeens netherlander was” (seandainya aku seorang belanda), yang merupakan terhadap rencana gubernment belanda yang akan mengadakan peringatan besar-besaran 100tahun kemerdekaan negeri Belanda di tanah jajahan Idonesia pada tanggal 15 November 1913,sesudah di jajah Perancis dibawah Napoleon.
Didalam tulisanya Soewardi memberikan tamparan yang hebat kepada siangkara murka penjajah. Tetapi caranya tidak kasar, tidak dengan maki-makian, senantiasa tetap sebagai ksatria, memeberi kata-kata yang tepat, jitu, indah susunanya, ada humornya, ada sinisnya, tercampur ejekan yang pedas, yang di lemparkan kepada si penjajah, tetapi selanjutnya juga memberi pandangan-pandangan, dapat di renungkan untuk fihak Belanda, dan juga fihak kita. Kesemuanya itu menuju kepengasingannya melalui dekrit gubernur Jendarl Belanda tertanggal 18 Agustus 1913. Soewardi diasingkan di Bangka, Dr. Tjipto Magoenkoesoemo ke Banda Neira, dan Dr Douwes Dekker alias Dr. Danu Dirdjo Setia Budhi ketimur Kupang, namun akhirnya ketiganya diperkenankan untuk pergi kenegeri Belanda ( 1913 – 1919 ).
LAHIRNYA TAMANSISWA
Dalam seluruh kehidupan dan perjuangannya, tokoh Ki Hadjar Dewantara sebagai pendiri Perguruan Taman Siswa tidak mungkin di pisahkan dari Taman siswanya. Seolah-olah jiwa dan perjuangan Ki Hadjar Dewantara sudah menyatu pada Taman siswa ( Ki Suratman, 1985 ). Taman siswa lahir ditandai dengan Candra Sengkala “ Lawan Sastra Ngesti Mulyo “ yang mengandung makna “ Dengan Ilmu Pengetahuan ( Kebudayaan ) mengusahakan Kemuliaan “, yang mencatat tahun Saka 1852 yang bertepatan dengan tahun Masehi 1922 ( tanggal 3 Juli 1922 ) dengan nama aslinya “ Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswo “. Yang jika di Indonesiakan “ Lembaga Pendidikan Nasional Taman Siswo “. Pendirinya adalah Soewardi Surya Ningrat dan kawan-kawan, sebagao hasil musyawarah sebuah kelompok sarasehan “ Soso-Kliwonan “, yang memperhatikan situasi dan nasib bangsa Indonesia yang terjajah.
Secara khusus, Ki Hadjar Dewantara mendefinisikan Taman siswa seabagai “ Badan Perjuangan Kebudayaan dan Pembangunan Masyarakat, yang menggunakan Pendidikan dalam arti luas sebagai sarananya. Dengan demikian wajarlah kiranya bahwa perjuangan Taman siswa juga tidak mungkin lepas dari permasalahan kebudayaan tersebut.
PEMBERIAN GELAR DOCTOR HONORIS CAUSA
Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. M. Sardjito, selaku promotor dalam pemberian gelar Doctor Honoris Causa dalam “ Ilmu Kebudayaan “ kepada Ki Hadjar Dewantara, pada tanggal 19 Desember 1956 di Sitinggil Yogyakarta, menyatakan Ki Hadjar Dewantara sebagai perintis kemerdekaan nasional, perintis pendidikan nasional dan perintis kebudayaan nasional. Di dalam diri Ki Hadjar Dewantara, senat Universitas Gadjah Mada menganggap menemukan perintis hidup kebudayaan dalam arti luas isinya dan luas lingkungannya, terutama hidup kebudayaan Indonesia dan juga hidup kebudayaan umumnya.
PELETAK DASAR PENDIDIKAN NASIONAL
President soekarno dalam kata sambutannya ( Djakarta, 22 Januari 1962 ), dalam buku karya Ki Hadjar Dewantara : Bagian pertama pendidikan, menegaskan Kita kenal Ki Hadjar Dewantara sebagai tokoh nasional, Tokoh kemerdekaan, dan Tokoh pendidikan Nasional, yang dengan keuletan dan ketabahan hati berjoang terus, “sepi ing pamrih, rame ing gawe”... karangan-karangan beliau adalah sangat luas dan mendalam, yang tidak saja dapat membangkitkan semangat perjoangan nasional sewaktu jaman penjajahan, tetapi juga meletakan dasar-dasar pendidikan nasional yang progresif untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Menteri Pendidikan, pengetahuan dan kebudayaan, Menteri Pendidikan Dasar dan kebudayaan, Prijono, dalam kata sambutanya (jakarta, 1 Juli 1961) dalam buku karya Ki Hadjar Dewantara : bagian pertama Pendidikan, menegaskan Ki Hadjar Deweantara adalah seorang patriot paripurna yang perkata-perkataanya, sikap hidupnya, tindak-tanduknya, kesetiaan terhap nusa dan bangsanya tidak pernah bertentangan satu sama lain.
Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellact), dan jasmani anak-anak. Maksudnya ialah supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak, selaras dengan alamnya, dan masyarakatnya. Karena itulah pasal-pasal di bawah ini harus kita pentingkan :
1.Segala syarat, usaha dan cara pendidikan harus sesuai dengan kodratnya keadaan (natuurlijkheid, realiteit).
2.Kodratnya keadaan tadi ada tersimpan dalam adat istiadat masing-masing rakyat, yang karenanya bergolong-golong merupakan kesatuan dengan sifat perikehidupan sendiri-sendiri, sifat-sifat mana terjadi dari campuranya semua daya upaya untuk mendapat hidup tertib damai.
3.Adat istiadat, sebagai sifat daya upaya akan tertib damai itu, tiada terluput dari pengaruh “jaman” dan “alam” ; karena itu tidak tetap, tetapi senantiasa berubah, bentuk isi dan iramanya.
4.Akan mengetahui garis hidup yang tetap dari suatu bangsa, perlulah kita mengetahui jaman yang telah lalu, mengetahui menjelmanya jaman itu kedalam jaman sekarang, mengetahui jaman yang berlaku ini lalu dapat inshaflah kita akan jaman yang akan datang.
5.Pengaruh baru adalah terjadi dari bergaulnya bangsa yang satu dengan yang lain, pergaulan mana pada sekarang mudah sekali, terbawa dari adanya hubungan modern. Haruslah kita awas, akan dapat memilih mana yang baik untuk menambah kemuliaan hidup kita, mana yang akan merugikan pada kita dengan selalu mengingat bahwa semua kemajuan ilmu dan pengetahuan dan segala perikehidupan itu adalah kemurahan Tuhan untuk segenap manusia di seluruh dunia, meskipun hidupnya masing-masing menurut garis sendiri yang tetap.
Ki Hadjar Dewantara menyatakan pula, bahwa pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan garis hidup bangsanya ( Cultureel-nationaal ) dan ditujukan keperluan perikehidupan ( maatschappelijk ) yang dapat menggangkat derajat negeri dan rakyatnya, sehingga bersamaan kedudukan dan pantas bekerjasama dengan bangsa lain untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia.
1.Pendidikan Budi pekerti harus mempergunakan syarat-syarat yang selaras dengan jiwa kebangsaan menuju kesucian, ketertiban dan kedamaian lahir batin, tidak saja syarat-syarat yang sudah ada dan ternyata baik, melainkan juga syarat-syarat jaman baru yang berfaedah dan sesuai dengan maksud dan tujuan kita.
2.Teristimewa haruslah kita memperhatikan pangkal kehidupan kita yang terus hidup dalam kesenian, peradaban, syarat-syarat agama atau terdapat dalam kitab-kitab ceritera ( dongeng, mythen, legenda, babad, dan lain-lain ). Semua itu adalah “ arsip nasional “, dalam mana tersimpan beberapa kekayaan batin dari bangsa kita ( geespelijke warden ). Dengan mengetahui segala hal itu niscayalah langkah kita untuk menuju pada jaman baru akan berhasil tetap dan kekal, karena jaman kita dijodohkan sebagai “ mempelai “ dengan jaman yang lalu.
3.Berhubung dengan apa yang tersebut diatas perlulah anak-anak kita dekatkan hidupnya dengan perikehidupan rakyat, agar mereka tidak hanya memiliki “ pengetahuan “ saja tentang hidup rakyatnya, akan tetapi juga dapat “ mengalaminya “ sendiri, dan kemudian tidak hidup berpisahan dengan rakyatnya.
4.Karena itu seyogyanyalah kita mengutamakan cara “ pondok system “, berdasarkan hidup kekeluargaan, untuk mempersatukan pengajaran pengetahuan dengan pengajaran budi pekerti, system mana dalam sejarah kebudayaan bangsa kita bukan barang asing. Dahulu bernama “ asrama “, kemudian dalam jaman islam menjelma jadi “ pondok pesantren “.
5.Pengajaran ( onderwijs ) ialah suatu bagian dari pendidikan. Pengajaran itu tidak lain ialah pendidikan dalam memberi ilmu atau pengetahuan, serta juga memberi kecakapan kepada anak-anak yang kedua-duanya dapat berfaedah buat hidup anak-anak, baik lahir maupun batin. Pengajarn pengetahuan adalah sebagian dari pendidikan, yang terutama dipergunakan untuk memdidik pikiran, dan ini perlu sekali, tidak saja untuk memajukan kecerdasan batin, namun pula untuk melancarkan hidup pada umumnya. Seyogyanya pendidikan pekiran ini dibangun setinggi-tingginya, sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya, agar anak-anak kelak dapat membangun perikehidupan lahir dan batin dengan sebaik-baiknya.
6.Pendidikan ( opvoeding ) pada umumnya, yaitu tuntunan dalam hidup tumbuhny anak-anak. Adapun maksudnya pendidikan yaitu : menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
7.Pertama kali haruslah kita ingat, bahwa pendidikan itu hanya suatu “ tuntunan “ di dalam hidup tumbuhnya anak-anak kita. Ini berarti, bahwa tumbuhnya hidup anak-anak itu terletak diluar kecakapan atau kehendak kita kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, sebagai manusia, sebagai benda hidup, teranglah hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri.
8.Perlunya penguasaan diri dalam pendidikan budi pekerti. Yang dinamakan “ budipekerti “ atau “ watak “ atau “ karakter “ yaitu bulatnya jiwa manusia. Budi pekerti, watak atau karakter itulah bersatunya gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan, yang lalu menimbulkan tenaga. Ketahuilah bahwa “ budi “ itu berarti “ fikiran-perasaan-kemauan “, dan “ pekerti “ itu artinya “ tenaga “. jadi “ budipekerti” itu sifatnya jiwa manusia, mulai angan-angan hingga terjelma sebagai tenaga. Dengan adanya “ budipekerti “ itu tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka ( berpribadi ), yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri ( mandiri, zellfbeheersching ). Inilah manusia yang beradab dan itulah maksud dan tujuan pendidikan dalam garis besarnya.
9.Dalam pendidikan harus senantiasa diingat, bahwa kemerdekaan itu sifatnya tiga macam : berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain dan dapat mengatur dirinya sendiri. Beratlah kemerdekaan itu ! Bukan hanya tidak terperintah saja, akan tetapi harus juga dapat menegakkan dirinya dan dapat mengatur perikehidupanya dengan tertib. Dalam hal ini termasuklah juga mengatur tertibnya perhubungan dengan kemerdekaan orang lain.
10.Pendidikan adalah usaha pembangunan, kata orang. Ini benar, tetapi menurut pikiran saya kurang lengkap. Pendidikan yang dilakukan dengan keinsyafan, di tujukan ke arah keselamatan dan kebahagiaan manusia, tidak hanya bersifat laku “pembangunan”, tetapi sering merupakan “perjuangan”pula. Pendidikan berarti merupakan memelihara hidup-tumbuh ke arah kemajuan, tidak boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin. Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berazas peradaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan.
11.Di dalam hidupnya anak-anak ada tiga tempat peraulan yang menjadi pusat pendidikan (tri pusat pendidikan) yang amat penting baginya, yaitu : alam keluarga, alam perguruan dan alam pergerakan pemuda (masyarakat).
12.Tri nga (ngerti, nglakoni atau mengerti, merasa, melakukan).
13.Tri pantangan (jangan menyalahgunakan wewenang atau kekuasaan, jangan memanipulasi di bidang keuangan, jangan melanggar kesusilaan).
14.“Among system” (system among) yaitu : menyokong kodrat alamnya anak-anak yang kita didik, agar dapat mengembangkan hidup lahir dan batin menurut kodratnya sendiri-sendiri. Kata “among” yang berasal dari bahasa Jawa mempunyai arti orang yang tugasnya “ngemong” atau “momong” yang jiwanya penuh pengabdian. Sistem among mini merupakan sebuah system yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan dua dasar :
a.Kemerdekaan, sebagai ayarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin anak, sehingga dapat hidup merdeka (berdiri sendiri).
b.Kodrat alam, sebagai syarat untuk mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dengan sebaik-baiknya.
Ki Hadjar Dewantara menjadikan “tut wuri handayani” sebagai semboyan sistem among. Tut wuri handayani, tidak lain berarti pengakuan otonomi individu untuk berkembang, namun tidak terlepas dari dialog atau interaksi dari manusia lain termasuk pendidik.
Semboyan “tut wuri handayani” yang di kumandangkan oleh Ki Hadjar Dewantara mendapat tanggapan yang positif dari RMP. Sosrokartono (kakak RA. Kartini), seorang filsuf dan ahli bahasa, dengan menambahkan dua semboyan lagi, yaitu “ing madya mangun karsa” (di tengah membangkitkan kehendak, memberi inovasi) dan “ing ngarsa sung tuladha” (di depan memberikan contoh).
15.“Azas tri- kon ” yang di kemukakan Ki Hadjar Dewantara, yaitu :
a.“Konstituet”, yang berarti bahwa garis hidup kita di jaman sekarang harus merupakan “ lanjutan, terusan” dari hidup kita di jaman yang silam, jangan “ulangan”, ataupun “tiruan” hidup bangsa yang lain.
b.“Konvergensi”, dalam arti keharusan untuk menghindari “hidup menyendiri” (isolasi) dan untuk menuju kearah pertemuan dengan hidupnya bangsa-bangsa lain di dunia.
c.“Kontrensititet”, yang berarti bahwa sesudah kita “bersatu” dengan bangsa-bangsa lain sedunia, janganlah kita kehilangan “kepribadian” kita sendiri, meskipun sudah bertitik pusat satu, namun di dalam lingkaran-lingkaran yang “konsentris” itu, kita tetap masih mempunyai sirkel sendiri.

Daftar pustaka
1.Dewantara, Ki Hadjar. 1956. Masalah kebudayaan. Kenang-kenangan promosi Doctor Honoris Causa Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: yayasan Pembinaan Fakultas Filsafat UGM.
2.Suratman, Ki . 1992. “Dasar-dasar konsepsi Ajaran Ki Hadjar Dewantara”. 70 Tahun Tamansiswa. Yogyakarta : MLPTS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar